Beberapa bulan lagi tahun 2016
akan segera berakhir. Aku memutuskan untuk mengambil cuti di minggu ini.
Penatnya urusan kantor membuatku harus refresing. Segala pikiran dan tenaga aku
berikan untuk perusahaan tempatku bekerja, tiga tahun terakhir adalah masa
emasku dalam bekerja. Aku menjadapat prestasi menjadi karyawan terbaik, sebagai
balasannya aku dapat tiket liburan ke Raja Ampat, Jepang, dan Inggris. Tapi,
aku merasa belum puas jika aku hanya sebagai karyawan. Tahun depan aku
memutuskan untuk berhenti kerja dan membuat perusahaan sendiri.
Aku ingin menikmati liburanku kali
ini ke tempat yang sejuk sambil menyusun draf membangun perusahaan. Danau Ghulun
menjadi pilihan utama untuk menghabiskan waktu hari ini. Di sini terdapat taman
yang cukup besar, tanaman bugenvil tumbuh subur dengan bunga-bunga yang sedang
bermekaran. Pohon-pohon besar berdiri kokoh menambah keteduhan di danau ini.
Angin berembus kencang, mengibaskan
dedaunan di pinggir danau. Burung-burung gereja berterbangan dengan lihai dari
satu pohon ke pohon yang lain, sekawanan capung menari-nari di tengah danau.
Tampak indah di sini, sayangnya keindahan ini tak bisa dinikmati oleh anak-anak,
bahkan para orangtua pun tidak berani ketempat ini. Sebab, sejak kematian
beberapa orang mahasiswa dua tahun lalu akibat tembakan dari orang yang tak
dikenal membuat danau ini begitu hening. Belum lagi beberapa bulan lalu ada
seorang kakek-kakek tersambar petir saat mancing di Danau Ghulun. Mungkin orang-orang
beranggapan danau ini sebagai tempat mistis. Aku sendiri tidak percaya hal itu.
Danau Ghulun yang hening menjadi
daya tarik tersendiri bagiku. Aku menyukai tempat ini karena diantara yang lain
Ghulun menyimpan banyak kenangan. Dulu setiap weekend orangtuaku mengajaku ke
tempat ini. Kami sekeluarga tak pernah absen mengunjungi Danau Ghulun, aku dan
adikku paling suka naik perahu naga di danau. Ayah dan Ibu megawasi kami dari
kejauhan di bawah pohon damar sambil menikmati macaroni schotel. Danau ini
begitu ramai apabila ada pertunjukan barongsai, dongeng dari komunitas pencinta
anak, 17-an, lomba dayung, ah begitu indah kenangan di sini. Tapi ditempat ini
pula, kenangan buruk terjadi. Ayah dan Ibu bertengkar hebat. Aku yang berusia
10 tahun tak tahu harus berbuat apa, yang pasti aku dan adikku merasa malu saat
itu, menyaksikan mereka bertengkar di tempat umum. Permasalahannya apa? Entahlah,
katanya saat mereka sedang santai di bawah pohon seorang wanita teman kerja
Ayah menghampiri, wanita itu menangis-nangis minta Ayah untuk bertanggung jawab
atas perbutannya. Satu bulan kemudian Ayah dan Ibu bercerai. Sebagai anak
hatiku hancur. Tak penah terpikrkan bagiku Ayah dan Ibu berpisah. Aku kabur
dari rumah, selama satu tahun aku menjadi gelandangan. Aku pulang ke rumah saat
mengetahui bahwa Ibu sedang koma.
Setiap kali mengingat kenangan
pahit di Ghulun, aku berharap segera hujan. Biar kenangan pahit itu dapat
tersapu oleh hujan.
Aku paling suka naik ke ranting pohon Angsana.
Di tempat ini aku bisa melihat sekitar tanpa harus bersusah payah mengangkat
kepala ke depan. Pohon ini sangat nyaman. Aku bisa memulai buat draf perusahaan
yang akan aku bangun.
“Kenapa aku harus hidup?”
Tiba-tiba saja seorang wanita di
sebrang danau berteriak. Dia meletakkan lututnya di tanah, dan menghadapkan
mukanya ke air danau. Wanita itu cukup berani juga datang ke danau ini. Mungkin
dia sama sepetiku yang tak percaya bahwa danau mistis. Baguslah, aku tak
sendiri kali ini.
“Kenapa aku harus hidup?”
Ia mengulangi kalimat itu, kini
tangannya memukul-mukul air danau. Mukanya tak terlihat jelas, sebab rambut
pirangnya telah menutupinya. Aku tak peduli dengan apa yang ia dilakukan. Manusia
memang seperti itu, perlu mengekspresikan kekesalannya. Yaa walau dengan cara
yang berbeda-beda. Aku juga pernah seperti wanita itu, mengekspresikan
kekesalanku dengan cara berteriak sekencang-kencangnya di atas ranting pohon
ini. Jadi, hal yang seperti ini sudah biasa.
“Aku muak dengan kehidupan ini!!”
Ia berteriak lagi, kali ini
teriakannya sangat keras. Tas yang ada di sampingnya ia lempar ke danau. Tangannya
mengepal, tampak kesal. Aku berusaha untuk tidak memedulikannya. Aku berusaha
konsen dengan draf pendirian perusahaanku. Tapi, tetap saja rasa penasaran
selalu mendorongku untuk melirik ke arahnya. “Dasar pengganggu” kataku dalam
hati.
Aku terganggu dengan tingkahnya
yang mulai aneh. Kali ini pohon kenari dipukul-pukul menggunakan tangan
kanannya, ia terlihat tidak merasakan sakit, meskipun tangannya mulai berdarah.
Angin berembus kencang menerpaku. Daun-daun dari pohon angsana berjatuhan. Burung-burung gereja tampak
tenag di atas pohon, sekawanan capung juga tak tampak kelihatan lagi saat ini.
“Dasar keparat!”
Berkali-kali ia berteriak kalimat
itu. Aku merasa sudah tidak nyaman di sini, jujur saja aku merasa terganggu
dengan wanita itu. tidak mungkin aku merancang perusahaanku dalam kondisi
seperti ini. Aku buka bekal yang ku beli di dekat pertigaan menuju danau. Spageti
jombo, sengaja aku beli dalam porsi bersar agar aku tak bolak balik beli
makanan.
Sementara orang itu, “Tidak!!”
terikanku dalam hati. Wanita itu memukul-mukulkan kepalanya di pohon Kenari, darah
keluar dari dahinya. Tak sampai di situ, ia menabrakan tubuhnya ke pohon besar
itu. Aku tak mengerti mengapa ia melakukan hal itu. “Dasar keparat!!” ia
berteriak lagi. Rasanya aku ingin mendekatinya, dan menanyakan banyak hal
tentang apa yang terjadi padanya. Tapi, apakah aku akan dibilang mencampuri
urusan orang lain kalau seperti itu. Ah, rasanya kakiku berat untuk melangkah. Danau
ini cukup besar, butuh waktu tak sedikit untuk sampai di sebrang sana.
“Dasar keparat!”
“Bedebah”
“Ini keterlaluan”
“Biadab”
Aku tak mengetri apa maksud
perkataannya. Berkali-kali ia benturkan kepalanya. Terkadang ia tendangi pohon
besar itu. Rambutnya tampak berantakan, entah dibenturan keberapa dagunya
berdarah. Kakinya penuh luka. Tidak, aku tidak bisa biarkan ini. Aku harus ke
sana.
Tak pikir panjang, aku langsung
lompat dari ketinggian 2 meter. Wanita itu melihat ke arah ku, dia mengacungkan
jarinya ke arahku. Aku segera berlari menujunya. Dia pun ambil ancang-ancang
untuk berlari. Oh tidak, dia berlari bukan ke arahku dia berlari ke arah danau.
“Tidakkk!” kini aku yang berteriak. Wanita itu menceburkan diri ke danau, aku tidak
bisa berenang. Langkahu terhenti, tak ku lihat ia muncul ke permukaan. Nyaliku tak
cukup berani untuk menolongnya. Di temapat ini hanya ada aku dan wanita itu.
Tubuhku gemetar, aku takut menjadi tersangka dalam kasus ini. Segera aku ambil
ranselku yang berada di bawah pohon angsana
dan aku berlari kencang meninggalkan Danau Ghulun yang sunyi ini.
***
Dua hari kemudian beritanya ramai
di televisi. Seorang wanita ditemukan mengapung di Danau Ghulun. Polisi melakukan
identifikasi atas kematian wanita itu. Ditemukan tas yang di dalamnya terdapat
foto-foto mesra suaminya dengan adik dandung dari wanita berambut pirang itu.
Tak karu-karuan pikiranku
mendengar berita ini. Bagaimana tidak, aku yang menyaksikan sendiri
kejadiannya. Bukan hanya itu saja, suaminya ternyata ayah kandungku.
Keren banget bu ceritanya :)
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusngantung bikin penasaran bu;D
BalasHapus