Dulu, tempat ini menjadi saksi sejarah kita untuk merangkai impian.
Banyak harapan yang dituliskan, banyak doa yang terucap, Kita akan mewujudkannya bersama.
“Kalau usaha ini sukses uangnya kamu mau apakan?”
“Aku ingin memberangkatkan orang tua haji. Membantu orang-orang yang
kesusahan.”
“Kok harapan kita sama, kalau saya minimal banget orang tua bisa
umroh. Saya gak mau punya hutang lagi. Harusnya saya yang membentu orang lain.”
Impian itu pernah kita ucapkan saat kita telah menyusun target-target
usaha. Berjalan diantara pohon-pohon kecil halaman masjid, tawa dan senyum kita
saat itu, melebihi indahnya senyuman mentari pagi.
Kita tahu ini tidak mudah. Mengorbankan waktu, tenaga, uang, juga
pikiran. Kita nekat, karena aku dan kamu
yakin bila kita bersama semua akan terasa mudah. Cita-cita kita sederhana,
berlepas dari bergantung pada orang lain dan memberikan kebahagiaan untuk orang
tercinta. Namun, ternyata senja datang begitu cepat. Menggiring kita untuk
pulang dan berpisah.
Malam telah menarik perhatianmu. Cahaya rembulan memikat hatimu, kau
terus menghitung banyaknya taburan bintang. Kau melangkah, berlari menggapai
cahaya malam. Malam yang panjang.
Sekarang senyum mentari tak lagi terlihat. Awan hitam dan hujan
menutupi sinarnya. Sesekali kilat datang, membawa rasa takut. Aku berada di
sana.
Hidup memang tak selamanya berjalan dengan mulus. Perjalan hidup tak
selamnya sesuai dengan rencana kita. Hidup itu dinamis, sangat cepat
perubahannya. Secepat pikiran dan keputusan kita saat itu. Hidup itu belajar,
ada pula yang namanya ujian. Ujian hidup datangnya tak bisa kita kira-kira, dia
datang begitu saja semaunya. Datangnya ujian hidup untuk mengukur kualitas
manusia itu sendiri, seberapa kuatkah ia menghadapi ujian hidup. Kalau dipahami
secara mendalam, manusia itu sebenarnya memerlukan ujian hidup, karena ia akan
belajar bagaimana cara menyalesaikannya, membuat strategi-strategi baru,
bereksperimen, membutuhkan orang lain, menjadi lebih dekat dengan Yang Maha
Kuasa, dan berusaha memahami keadaan.
Ujian hidup juga menjadikan seseorang lebih dewasa, lebih tegar dan
ikhlas. Memahami bahwa kita hanyalah hamba Tuhan yang selalu membutuhkan
pertolongan-Nya. Melunturkan kesombongan, karena sejatinya di dunia ini tak ada
yang kita miliki. Merasa kehilangan mengajari kita bahwa tak ada kepemilikan
sejati, semua yang ada hanyalah milik-Nya. Ujian dan cobaan hidup datang untuk
menyucikan diri kita yang alpa dari memuji-Nya. Agak menyakitkan memang namun,
Maha Pemurahnya Ia yang memberikan kesabaran pada diri manusia hingga ganjaran
yang diperoleh tak terpikirkan sebelumnya.
Masjid, pada malam ini kami kembali lagi. Menyelesaikan masalalu yang belum
usai. Mimpi buruk menghantui dan cita-cita yang entah ke mana ia perginya.
Kekecewaan dan kemarahan harus segera hialang, demi silaturrahmi yang sempat
terputus anatara kau dan aku.
Masjid, di tempat ini kami bersujud. Memohon ampun pada-Nya.
Menyelesaikan semua dengan kata maaf. Maaf karena kami saling menyakiti, maaf
karena kami egois, maaf karena kami lalai terhadap-Nya. tak ada kata yang lebih
indah ketika dianta dua orang yang berselisih kecuali kata maaf dan mau
memaafkan.
Masjid, jadilah kau saksi kami di akhirat nanti. Pertemuan kami tak
bisa membendung air mata, mengakui semua dosa dan kekhilafan. Kami hanyalah
hamba-Nya yang membutuhkan tuntunanNya.
Kami yang dahulu dekat, sekarang kembali mendekat dengan mengharap keridhoan-Nya.
Setalah hujan, hadirlah senyum pelanggi…
Depok, 28 Maret 2016
Pucuk malam 22.21
Posting Komentar